Minggu, 20 Februari 2011

Keterhijaban dan Baik Sangka

*Fillah, Salim A., Dalam Dekapan Ukhuwah, hal. 168

Ada banyak hal yang tak pernah kita minta
Tapi Allah tiada alpa menyediakannya untuk kita
Seperti nafas sejuk, air segar, hangat mentari,
Dan kicau burung yang mendamai hati
Jika demikian, atas doa-doa yang kita panjatkan
Bersiaplah untuk dijabah lebih dari apa yang kita mohonkan

Seorang kawan bertanya dengan nada mengeluh.
“Di mana keadilan Allah?”, ujarnya. “Telah lama aku memohon dan meminta pada-Nya satu hal saja. Kuiringi semua itu dengan segala ketaatan pada-Nya. Kujauhi segala larangannya. Kutegakkan yang wajib. Kutekuni yang sunah. Kutebarkan shadaqah. Aku berdiri di waktu malam. Aku bersujud di kala Dhuha. Aku baca kalam-Nya. Aku upayakan sepenuh kemampuan mengikut jejak Rasul-Nya. Tapi hingga kini Allah belum mewujudkan harapanku itu. Sama sekali.”
Saya menatapnya iba. Lalu tertunduk sedih.
“Padahal,” lanjutnya sambil kini berkaca-kaca, “Ada teman lain yang aku tahu ibadahnya berantakkan. Wajibnya tak utuh. Sunnahnya tak tersentuh. Akhlaknya kacau. Otaknya kotor. Bicaranya bocor. (Ooops, ‘afwan, red). Tapi begitu dia berkata bahwa dia menginginkan sesuatu, hari berikutnya segalanya telah tersaji. Semua yang dia minta didapatkannya. Di mana keadilan Allah?”
Rasanya saya punya banyak kata-kata untuk menghakiminya. Saya bisa saja mengatakan, “Kamu sombong. Kamubangga diri dengan ibadahmu. Kamu menganggap hina orang lain. Kamu tertipu oleh kebaikanmu sebagaimana Iblis telah terlena! Jangan heran kalau doamu tidak dijabah. Kesombonganmu telah menghapus segala kebaikan. Nilai dirimu hanya anai-anai berterbangan. Mungkin kawan yang kau rendahkan jauh lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah karena dia merahasiakan amal shalihnya!”
Saya bisa saja mengucapkan itu semua. Atau banyak kalimat kebenaran lainnya. Tapi saya sadar, ini ujian dalam dekapan ukhuwah. Maka saya memilih sudut pandang lain yang saya haraplebioh bermakna baginya daripada sekedar terinsyafkan tapi sekaligus terluka. Saya khawatir, luka akan bertahan jauh lebih lama daripada kesadarannya.
Maka saya katakan kepadanya, “Pernahkah engkau didatangi pengamen?”
“Maksudmu?”
“Ya, pengamen,’ lanjut saya seiring senyum. “Pernah?”
“Iya, pernah.” Wajahnya serius. Matanya menatap saya lekat-lekat.
“Bayangkan jika pengamennya dalah seorang yang berpenampilan seram, bertato, bertindik, dan wajahnya garang mengerikan. Nyanyiannya lebih mirip teriakan yang memekakan telinga. Suaranya kacau, balau, sengau, parau, sumbang, dan cempreng. Lagunya malah menyakitkan ulu hati, sama sekali tak dapat dinikmati. Apa yang akan kau lakukan?”
“Segera kuberi uang,” jawabnya, “Agar segera berhenti menyanyi dan cepat-cepat pergi.”
“Lalu bagaimana jika pengamen itu bersuara emas, mirip sempurna dengan Ebiet G. Ade atau Sam Bimbo yang kau suka, menyanyi dengan sopan dan penampilannya rapi lagi wangi; apa yang kau lakukan?”
“Kudengarkan, kunikmati hingga akhir lagu,” dia menjawab sambil memejamkan mata, mungkin membayangkan kemerduan yang dicanduinya itu. “Lalu kuminta dia menyanyikan lagu yang lain lagi. Tambah lagi, dan tambah lagi.”
Saya tertawa.
Dia tertawa.
“Kau mengerti kan?” Tanya saya. “Bisa saja Allah juga berlaku begitu pada kita, para hamba-NYa. Jika da manusi ayang fasik, keji, munkar, banyak dosa, dan dibenci-Nya berdoa memohon pada-Nya, mungkin akan Dia firmankan pada malaikat: ‘Cepat berikan apa yang dia minta. Aku muak mendengar ocehannya. Aku benci menyimak suaranya. Aku risih mendengar pintanya!'”
“Tapi,” saya melanjutkan sambil memastikan dia menerima setiap kata, “Bila yang menadahkan tangan adalah hamba yang dicintai-Nya, yang giat beribadah, yang rajin bersedekah, yang menyempurnakan wajib dan menegakkan sunnah; maka mungkin saja Allah akan berfirman pada malaikat-Nya: ‘Tunngu! Tunda dulu apa yang menjadai hajatnya. Sungguh Aku bahagia bila dia minta. Dan biarlah hamba-Ku ini terus men\minta, terus berdoa, terus mengiba. Aku menyukai doa-doanya. Aku menyukai kata-kata dan tangis isaknya. Aku menyukai khusyu’ dan tunduknya. Aku menyukai puja dan puji yang dilantunkannya. Aku tak ingin dia menjauh dari-Ku setelah mendapat apa yang dia pinta. Aku mencintainya.”
“Oh ya?” matanya berbinar. “Betul demikiankah yang terjadi padaku?”
“Hm.. Pastinya aku tak tahu,” jawab saya sambil tersenyum. Dia agak terkejut. Segera saya sambung menepuk pundaknya, “Aku hanya ingin kau berbaik sangka.”
Dan dia tersenyum. Alhamdulillah.

by:RH (SEMANGADH !!!)

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More